KEHIDUPAN KELUARGA NABI Aa Gym dalam khotbahnya menyatakan hal berikut: ALLOH SWT menjelaskan dalam firman-Nya, "Dan sesungguhnya Rasul ALLOH itu menjadi ikutan (tauladan) yang baik untuk kamu dan untuk orang yang mengharapkan menemui ALLOH di hari kemudian dan yang mengingati ALLOH sebanyak-banyaknya." (Q.S. Al Ahzab [33]: 21). Seakan ayat ini menyatakan bahwa tidak usah kita melakukan apapun kecuali ada contohnya dari Rasulullah. Ketika misalnya, rumah tangga keluarga kita berantakan, maka solusi terbaiknya adalah dengan mencontoh Rasul dalam mengemudikan bahtera rumah tangganya. Subhanallah, siapapun yang mampunyai referensi Rasulullah dalam perilaku sehari-harinya, maka hidupnya seperti seorang yang punya katalog yang sangat mudah di akses, segalanya serba tertuntun. Sepeninggal Khadijah (istri pertama Nabi), Nabi menikah lagi dengan banyak istri. Antara usia 50th~58th, Nabi menikahi paling tidak 7 istri. Usia istri Nabi bervariasi antara 6th (Aisha, dinikahi dalam umur 6th tapi baru berumahtangga dengan Nabi dalam usia 9th) sampai dengan 50th. Pada usia 59th, Nabi masih menikah lagi paling sedikut dengan 4 istri lagi yang usianya antara 17th (Safiyah) s/d 36th (Maimunah). Catatan istri Nabi bervariasi. Buku-buku biografi Nabi paling awal (Ibn. Ishaq, Tabari) menyebutkan jauh lebih banyak dari pada yang disebutkan dalam biografi yang ditulis penulis-penulis modern. Berikut saya kutip/terjemahkan dari “The Sealed Nectar” (oleh Saif-ur-Rahman al-Mubarakpuri; tersedia online) 1. Khadijah Bint Khuwailid: Menikah di Mekah sebelum Hijra. Nabi berusia 25th dan Khadijah (janda) 40th. Merupakan istri nabi satu-satunya sampai Khadijah meninggal. Dari Khadijah, Nabi memiliki anak perempuan dan laki-laki. Semua anak laki-lakinya meninggal waktu masih kecil. Anak perempuannya bernama: Zainab, Ruqaiya, Umm Kulthum dan Fatimah. Zainab menikah dengan sepupunya bernama Abu Al-‘As bin Al-Rabi‘ (sebelum hijra). Ruqaiya dan Umm Kulthum keduanya menikah dengan ‘Uthman bin ‘Affan (sahabat nabi, kalifa ke 3) (Umm Kulthum menggantikan Ruqaiya setelah kakaknya meninggal). Fatimah menikah dengan Ali bin Abi Talib (jadi Ali sepupu Nabi) pada periode anatra perang Badr dan Uhud. Anak-anak Ali/Fatimah adalah Al-Hasan, Al-Husain, Zainab and Umm Kulthum. 2. Sawdah bint Zam‘a (Janda): Dinikahi dibulan shawal pada tahun kesepeluh masa kenabian Muhammad (berarti kurang lebih usia nabi 50th), beberapa hari setelah Khadijah meninggal. 3. ‘Aishah bint Abu Bakr (Abu Bakr adalah sahabat Nabi dan merupkana kalifa 1): Dinikahi pada tahun kesepuluh masa kenabian nabi, satu tahun setelah pernikahannya dengan Sawdah (usia Nabi +/- 51th), dan +/- 2th 5 bulan sebelum Hijra. Pada saat itu Aisha berusia 6th, dan baru masuk kedalam rumah tangga Nabi pada usia 9th, +/- 7bulan setelah hijra (usia Nabi 53th) di Medina. Aisha satu-satunya perawan yang dinikahi Nabi dan istri yang paling dicintai Nabi. 4. Hafsah bint ‘Umar bin Al-Khattab (Umar sahabat Nabi, kalifa 2): Janda dari Khunais bin Hudhafa As-Sahmi (meinggal dalam perang Uhud). Dinikahi Nabi pada tahun ke-3 AH (usia Nabi +/- 55th). 5. Zainab bint Khuzaimah: Dia berasal dari bani Bani Hilal bin ‘Amir bin Sa‘sa‘a. Zainab adalah janda dari Abdullah bin Jahsh, yang meninggal dalam perang Uhud. Dinikahi Nabi pada tahun ke-4 AH (Usia Nabi 56th). Zainab meninggal 3~4 bulan setelah pernikahnnya dengan Nabi. 6. Umm Salamah Hind bint Abi Omaiyah: Janda Abu Salamah yang meninggal di Jumada Al-Akhir, pada th ke-4 AH (Usia Nabi 56th). Dinikahi Nabi pada tahun yang sama. 7. Zainab bint Jahsh bin Riyab: Dia dari Bani Asad bin Khuzaimah dan adalah sepupu Nabi. Dia sebelumnya menikah dengan anak angkat nabi yang bernama Zaid bin Haritha. Dinikahi Nabi pada tahun ke 5 AH (usia nabi +/-57th) 8. Juwairiyah bint Al-Harith: Al-Harith adalah pemimpin Bani Al-Mustaliq dari Khuza‘ah. Juwairiyah merupakan tawanan dari “booty” yang jatuh ketangan Muslim dari Bani Al-Mustaliq. Juwairiyah tadinya bagian “booty” dari Thabit bin Qais bin Shammas’. Nabi membebaskannya dan menikahinya pada tahun ke 6 AH. (usia nabi +/- 58th). 9. Umm Habibah: anak dari Abu Sufyan dan janda dari Ubaidullah bin Jahsh. Dinikahi Nabi pada tahun ke 7 AH (Usia Nabi +/- 59th). 10. Safiyah bint Huyai bin Akhtab: Yahudi, merupakan booty yang jatuh ketangan muslim dari perang Khaibar. Nabi membebaskannya dan menikahinya pada tahun ke-7 AH. (Usia Nabi 59th). 11. Maimunah bint Al-Harith: Anak Al-Harith dan saudara Umm Al-Fadl Lubabah bint Al-Harith. Dinikahi Nabi setelah umrah pada th-7 AH. (usia nabi 59th). Diatas adalah kesebelas istri Nabi. Dua meninggal lebih dulu dari Nabi (Khadijah dan Zainab bint Khuzaimah). Sembilan yang lain masih hidup sewaktu Nabi meninggal. Adu dua istri lagi yang dinikahi Nabi tapi tidak masuk dalam rumah tangga Nabi yaitu satu dari Bani Kilab dan satunya lagi dari Bani Kindah yang bernama Al-Jauniyah. Disamping istri-istri tersebut, Nabi juga memiliki dua “Concubines” (wanita simpanan). Yang pertama adalah Mariyah (orang kristen dari Mesir) yang merupakan hadiah dari Al-Muqauqis, pejabat/penguasa Mesir. Dengan Mariyah, Nabi memperoleh anak laki-laki bernama Ibrahim yang meninggal pada saat masih kecil di Medina pada th 10AH. Yang kedua adalah Raihanah bint Zaid An-Nadriyah atau Quraziyah, tawanan dari Bani Quraiza (yahudi). Beberapa penulis menyebutkan bahwa ddia adalah salah satu istri Nabi. Abu ‘Ubaidah menyebutkan Nabi memiliki dua lagi Concubines, salah satu adalah tawanan perang dan satunya lagi budak wanita pemberian Zainab bint Jahsh. [Za'd Al-Ma'ad 1/29]. Kenapa Nabi memiliki begitu banyak istri bahkan simpanan? Kalau kita membaca Al-Tabari, istri-istri dan simpanan Nabi jauh lebih banyak dari itu. Bagaimana ulama menjelaskan ini. Semua ada justifikasinya. Intinya yang saya tahu adalah semua itu dilakukan untuk kepentingan penyebaran Islam bukan karena nafsu seksual. Apakah demikian? Bagaimana ceritanya? Bagaimana sikap Nabi terhadap istri-istrinya? Quran membatasi muslim untuk memiliki istri maksimal 4 orang. (S. 4:3, diturunkan di Medinah +/- th-3 AH, setelah perang UHUD, yang menewaskan 70 orang muslim) Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Dalam beberapa hadiths diceritakan bahwa setelah turunnya ayat itu, Nabi memerintahkan orang muslim yang memiliki lebih dari 4 istri untuk menceraikan kelebihannya. Bagaimana dengan Nabi sendiri. Pada waktu Nabi menikahi Zainab bekas istri anak angkatnya, Nabi sudah memiliki istri 4 orang (semestinya 6 orang, yang dua sudah meninggal yaitu Khadijah dan Zainab bint Khuzaimah). Padahal Quran S 4:3 membatasi jumlah istri maksimal-4. Lebih-lebih, Zainab adalah bekas istri anak angkat Nabi yang bernama Zaid. Pada waktu itu, orang arab memperlakukan anak angkat seperti anak kandungnya sendiri, yang memperoleh hak (harta warisan, nama dsb) dan kewajiban sama dengan anak kandung. Menikahi bekas istri anaknya (meskipun anak angkat) dianggap sebagai tabu. Jadi ada beberapa isu disini. Pertama mengenai jumlah istri, kedua mengenai masalah anak angkat dan ketiga menikahi istri bekas anak angkatnya. Pernikahan Nabi dengan Zainab bint Jash Surat 33 (Al Ahzab, diturunkan di Medinah pada tahun 5AH), menghapus praktek adopsi anak bagi orang islam dan memberikan kebebasan kepada Nabi mengenai jumlah istri yang boleh dimiliki Nabi. (S 33:4) Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). (5) Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Hal ini diturunkan berkaitan dengan Zaid bin Harithah, bekas budak Nabi yang sudah dibebaskan dan diangkat anak oleh Nabi sebelum masa kenabian. Dan saat itu Zaid biasa dipanggil dengan sebutan Zaid Bin Muhammad. Allah ingin menghapus praktek ini yang biasa dilakukan orang arab jaman itu. Dengan ayat ini praktek adopsi jaman itu dihapus dalam Islam. Dan juga ayat berikut: (S 33:40) Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Dengan dirurunkannya ayat ini, tidak boleh lagi memanggil Zaid dengan nama Zaid bin Muhammad karena Nabi Muhammad bukan ayahnya. Sejak turunnya ayat itu Zaid dipanggil Zaid bin Harithah. Kemudian dalam ayat berikut Allah menetapkan pernikahan Nabi dengan Zainab bekas istri anak angkatnya (S 33:37) Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. Kemudian ayat berikut memberikan pengecualian kepada Nabi berkaitan dengan kehidupan perkawinannya yang tidak diberikan kepada umat islam, termasuk diantaranya pembebasan kepada Nabi untuk memiliki istri lebih dari 4. (S 33:50) Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (51) Kamu boleh menangguhkan (menggauli) siapa yang kamu kehendaki di antara mereka (istri-istrimu) dan (boleh pula) menggauli siapa yang kamu kehendaki. Dan siapa-siapa yang kamu ingini untuk menggaulinya kembali dari perempuan yang telah kamu cerai, maka tidak ada dosa bagimu. Yang demikian itu adalah lebih dekat untuk ketenangan hati mereka, dan mereka tidak merasa sedih, dan semuanya rela dengan apa yang telah kamu berikan kepada mereka. Dan Allah mengetahui apa yang (tersimpan) dalam hatimu. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. (52) Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan istri-istri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu kecuali perempuan-perempuan (hamba sahaya) yang kamu miliki. Dan adalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu. Berikut lebih jauh cerita mengenai perkawinan Zaid dan Zainab yang saya kutip dari sumber Islam: Quran S 33:37 menyatakan ketetapan Allah mengenai perkawinan Nabi dan Zainab bekas anak angkatnya dengan alasan supaya Nabi bisa memberikan contoh kepada orang mukmin untuk bisa mengawini bekas istri anak-anak angkat mereka. (S 33:37) Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. Berikut berdasarkan tafsir Ibn Kathir: Disini Allah mengatakan apa yang dikatakan Nabi kepada Zaid. <"Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah"> Ini perkataan Nabi kepada Zaid untuk tidak menceraikan Zainab. Kemudian Allah mengatakan: Allah mengingatkan Nabi untuk tidak menyembunyikan didalam hatinya apa yang Allah akan menyatakannya dan supaya Nabi tidak takut kepada manusia karena Allah yang lebih berhak ditakuti. Ibn jarir menarasikan bahwa Aisha berkata “Jika Muhammad perlu untuk menyembunyikan sesuatu yang diturunkan kepada dia dalam kitab Allah, dia pasti akan menyembunyikan ayat berikut: Tafsir Jalalain (terjemahan Indonesia, dijual di dalam CD di Jakarta): (Dan ketika) ingatlah ketika (kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya) yakni nikmat Islam (dan kamu juga telah memberi nikmat kepadanya,) dengan memerdekakannya, yang dimaksud adalah Zaid bin Haritsah, dahulu pada zaman jahiliah dia adalah tawanan kemudian ia dibeli oleh Rasulullah, lalu dimerdekakan dan diangkat menjadi anak angkatnya sendiri ("Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah") dalam hal menalaknya (sedangkan kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya) akan membeberkannya, yaitu perasaan cinta kepada Zainab binti Jahsy, dan kamu berharap seandainya Zaid menalaknya, maka kamu akan menikahinya (dan kamu takut kepada manusia) bila mereka mengatakan bahwa dia telah menikahi bekas istri anaknya (sedangkan Allahlah yang lebih berhak untuk kamu takuti) dalam segala hal dan dalam masalah menikahinya, dan janganlah kamu takuti perkataan manusia. Kemudian Zaid menalak istrinya dan setelah idahnya habis, Allah swt. berfirman, ("Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya) yakni kebutuhannya (Kami kawinkan kamu dengan dia) maka Nabi saw. langsung mengawininya tanpa meminta persetujuannya dulu, kemudian beliau membuat walimah buat kaum Muslimin dengan hidangan roti dan daging yang mengenyangkan mereka (supaya tidak ada keberatan bagi orang Mukmin untuk mengawini istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu) apa yang telah dipastikan oleh-Nya (pasti terjadi.") Al-Tabari (The History of Al-Tabari: The Victory of Islam, diterjemahkan oleh Michael Fishbein [State University of New York Press, Albany, 1997], Volume VIII) memberikan latar belakang sejarah berkaitan dengan S33:37 sbb: Rasul Allah datang kerumah Zayd b. Harithah (Zayd biasa dipanggil Zayd b. Muhammad) Mungkin Rasul Allah tidak bertemu dengannya saat itu, sehingga bertanya,”Dimana Zaid?” Dia datang ke rumahnya untuk mencarinya tetapi tidak menemukan Zayd. Zainab bt. Jash, istri Zayd, bangkit menemuinya. Karena dia hanya berpakaian seadanya, Rasul Allah memalingkan muka darinya. Dia (Zainab) berkata:”Dia tidak ada disini, Rasul Allah. Silahkan masuk, Anda sudah anda sudah sedekat ayah dan ibu saya!”. Rasul Allah menolak masuk. Zainab berpakian secara terburu-buru pada waktu dia diberitahu bahwa “Rasul Allah ada di depan pintu.”Dia melompat dengan tergesa-gesa dan membuat terkesan Rasul Allah, sehingga dia berbalik sambil mengucapkan sesautu yang sulit agak susah dimengerti. Meskipun demikian, dia kelihatannya mengatakan : “Kemuliaan untuk Allah! Kemuliaan untuk Allah, yang menyebabkan hati berpaling!” Pada waktu Zaid pulang ke rumah, istrinya mengatakan padanya bahwa Rasul Allah tadi datang kerumah. Zaid berkata,”Mengapa kamu tidak memintanya masuk?” Dia menjawab,”Saya memintanya tapi dia menolak”. “Apakah kamu mendengar dia mengatakan sesuatu?” dia bertanya. Zainab menjawab,”Sewaktu dia berbalik pergi, saya mendengar dia berkata:”Kemuliaan untuk Allah! Kemuliaan untuk Allah, yang menyebabkan hati berpaling!” Maka Zayd pergi, dan setelah bertemu Nabi, dia berkata:”Rasul Allah, saya mendengar anda datang ke rumah saya. Mengapa anda tidak masuk, anda sudah sedekat ayah dan ibu saya? Rasul Allah, mungkin Zainab telah menarik hati anda, maka jika begitu saya akanberpisah dari dia.” Zayd tidak tahu lagi bagaimana cara mendekati Zainab setalah hari itu. Dia akan datang kepada Nabi dan mengatakan hal ini, tetapi Rasul Allah akan mengatakan kepada dia, “Tahan istrimu.” Zaid memisahkan diri dari dia dan meninggalkannya, dan dia menjadi bebas. Pada waktu Rasul Allah bercakap-cakap dengan Aisha, dia menjadi pingsan. Pada waktu Rasul Allah sadar, dia tersenyum dan berkata,”Siapa yang akan pergi kepada Zainab untuk memberitahu dai kabar baik, katakan bahwa Allah telah menikahkan dia kepada saya?” Kemudian Rasul Allah mengucapkan:”Dan ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus istrimu”-dan seluruh bagiannya. Menurut Aisha, yang berkata:”Saya menjadi tidak enak karena apa yang kami dengar tentang kecantikannya dan hal lainnya, hal-hal hebat dan menakjubkan-yang telah Allah lakukan untuk dia dengan memberikannya dalam pernikahan. Saya katakan dia akan menyombongkan hal ini kepada kami.” versi bahasa Inggrisnya: The Messenger of God came to the house of Zayd b. Harithah. (Zayd was always called Zayd b. Muhammad.) Perhaps the Messenger of God missed him at that moment, so as to ask, "Where is Zayd?" He came to his residence to look for him but did not find him. Zaynab bt. Jash, Zayd’s wife, rose to meet him. Because she was dressed only in a shift, the Messenger of God turned away from her. She said: "He is not here, Messenger of God. Come in, you who are as dear to me as my father and mother!" The Messenger of God refused to enter. Zaynab had dressed in haste when she was told "the Messenger of God is at the door." She jumped up in haste and excited the admiration of the Messenger of God, so that he turned away murmuring something that could scarcely be understood. However, he did say overtly: "Glory be to God the Almighty! Glory be to God, who causes the hearts to turn!" When Zayd came home, his wife told him that the Messenger of God had come to his house. Zayd said, "Why didn't you ask him to come in?" He replied, "I asked him, but he refused." "Did you hear him say anything?" he asked. She replied, "As he turned away, I heard him say: ‘Glory be to God the Almighty! Glory be to God, who causes hearts to turn!’" So Zayd left, and having come to the Messenger of God, he said: "Messenger of God, I have heard that you came to my house. Why didn’t you go in, you who are as dear to me as my father and mother? Messenger of God, perhaps Zaynab has excited your admiration, and so I will separate myself from her." Zayd could find no possible way to [approach] her after that day. He would come to the Messenger of God and tell him so, but the Messenger of God would say to him, "Keep your wife." Zayd separated from her and left her, and she became free. While the Messenger of God was talking with 'A'isha, a fainting overcame him. When he was released from it, he smiled and said, "Who will go to Zaynab to tell her the good news, saying that God has married her to me?" Then the Messenger of God recited: "And when you said unto him on whom God has conferred favor and you have conferred favor, ‘Keep your wife to yourself .’"- and the entire passage. According to 'A'isha, who said: "I became very uneasy because of what we heard about her beauty and another thing, the greatest and loftiest of matters - what God had done for her by giving her in marriage. I said she would boast of it over us." Beberapa kutipan hadiths berikut memberikan informasi tambahan mengenai hal ini: Sahih Al-Bukhari, Volume 9, Book 93, Number 516 Dinarasikan oleh Anas: Zaid bin Haritha datang kepada Nabi mengeluh tentang istrinya. Nabi terus berkata (kepadanya),”Takutlah kepada Allah dan tahanlah istrimu.” Aisha berkata,”Jika Rasul Allah perlu menyembunyikan sesuatu (dari Quran) dia pasti akan menyembunyikan hal ini,”Zainab biasa menyombongkan didepan istri-istri Nabi dan biasa berkata,”Kamu dinikahkan kepada Allah oleh keluargamu, sedangkan saya dinikahkan (kepada Nabi) oleh Allah di surga ke tujuh.” Dan Thabit mengucapkan, “Ayat ini-Tetapi(O Muhammad) kamu sembunyikan dalam hatimu yang Allah akan menyatakanNya, kamu takut akan orang-orang-(33:37) diturunkan dalam kaitannya dengan Zainab dan Zayd bin Haritha.” versi bahasa Inggrisnya: Narrated Anas: Zaid bin Haritha came to the Prophet complaining about his wife. The Prophet kept on saying (to him), "Be afraid of Allah and keep your wife." Aisha said, "If Allah’s Apostle were to conceal anything (of the Quran) he would have concealed this Verse." Zainab used to boast before the wives of the Prophet and used to say, "You were given in marriage by your families, while I was married (to the Prophet) by Allah from over seven Heavens." And Thabit recited, "The Verse:-- ‘But (O Muhammad) you did hide in your heart that which Allah was about to make manifest, you did fear the people,’ (33.37) was revealed in connection with Zainab and Zaid bin Haritha." Sahih Al-Bukhari, Volume 9, Book 93, Number 517 Dinarasikan oleh Anas bin Malik: Ayat Al-Hijab (jilbab) diturunkan dalam kaitannya dengan Zainab bint Jahsh. (Pada hari pernikahannya dengan dia) Nabi memberikan banquet pernikahn dengan roti dan daging; dan dia (Zainab) biasa menyombongkan didepan istri-istri Nabi yang lain dan biasa berkata,”Allah menikahkanku (kepada Nabi) di surga.” versi bahasa Inggrisnya: Narrated Anas bin Malik: The Verse of Al-Hijab (veiling of women) was revealed in connection with Zainab bint Jahsh. (On the day of her marriage with him) the Prophet gave a wedding banquet with bread and meat; and she used to boast before other wives of the Prophet and used to say, "Allah married me (to the Prophet) in the Heavens." Sahih Muslim, Book 008, Number 3330 Anas melaporkan:Ketika Idda Zainab berkahir, Rasul Allah berkata kepada Zayd untuk menyebutkan kepada dia tentang dia. Zayd pergi sampai dia bertemu Zainab dan dia sedang meragi/memuaikan tepungnya. Dia (Zaid) berkata: Ketika saya melihat dia, saya merasa dalam hati saya ada pikiran mendalam mengenai “kehebatannya”sehingga saya tidak berani melihat dia (semata-mat karena adanya kenyataan) bahwa Rasul Allah telah menyebut sesuatu tentang dia. Maka saya membalikkan badan..Dan saya membelakanginya, dan berkata:Zainab, Rasul Allah telah mengirim saya dengan pesan untukmu. Dia berkata:Saya tidak lakukan apapun sampai saya meminta ijin Allah. Maka dia (Zainab) berdiri ditempat sembahyangnya dan (ayat) Quran (mengenai pernikahannya) diturunkan, dan Rasul Allah datang kepada dia tanpa permisi… versi bahasa Inggrisnya: Anas (Allah be pleased with him) reported: When the ‘Iddah of Zainab was over, Allah's Messenger (may peace be upon him) said to Zaid to make a mention to her about him. Zaid went on until he came to her and she was fermenting her flour. He (Zaid) said: As I saw her I felt in my heart an idea of her greatness so much so that I could not see towards her (simply for the fact) that Allah's Messenger (may peace be upon him) had made a mention of her. So I turned my back towards her. And I turned upon my heels, and said: Zainab, Allah’s Messenger (may peace be upon him) has sent (me) with a message to you. She said: I do not do anything until I solicit the will of my Lord. So she stood at her place of worship and the (verse of) the Qur’an (pertaining to her marriage) was revealed, and Allah’s Messenger (may peace be upon him) came to her without permission… Perkawinan Nabi dengan Zainab, bekas istri anak angkatnya ini, menjadi pembicaraan orang-orang Yahudi dan arab waktu itu. Ayat-ayat tsb diturunkan untuk menjawab kritik itu dan bahwa apa yang dilakukan Nabi adalah sesuai ketetapan Allah. Ayat diatas menyatakan bahwa Nabi menyembunyikan dalam hatinya mengenai apa yang akan dinyatakan Allah. Pemahaman saya adalah bahwa bahkan sebelum perceraian Zainab dan Zaid terjadi, Nabi telah mengetahui ketetapan Allah yang akan menikahkan beliau dengan Zaid. Dari hadiths juga disebutkan bahwa Zainab biasa menyombongkan perkawinannya dengan Nabi dihadapan istri-istri Nabi yang lain bahwa Allah menikahkan dia dengan Nabi di “surga” Beberapa hal saya pertanyakan disini. Pertama adalah islam berdasarkan S33:4-5 diatas telah menghapus praktek adopsi yang biasa dilakukan orang-orang arab jaman dulu. Kedua, dalam S33:37 Allah menyatakan bahwa ayat ini diturunkan untuk muslim supaya pada waktu yang akan datang, tidak akan menjadi masalah jika seorang muslim ingin menikahi istri anak angkatnya. Untuk itu, Allah sendiri menikahkan Nabi dengan Zainab yang bekas istri Zayd, anak angkatnya. (Kalau praktek adopsi sudah tidak dikenal lagi, bukankah secara otomatis sudah tidak ada yang namanya anak angkat lagi? Bukankah dengan demikian ayat S33:37 mengenai ijin Allah bagi muslim untuk menikahi istri bekas anak angkatnya tidak ada maknanya lagi karena adopsi sudah dihapus? ). Dan kenapa Allah harus menghapus praktek adopsi? Bukankah untuk kasus-kasus tertentu, adopsi bisa dikatakan merupakan perbuatan yang mulia? Pernikahan Nabi dengan Aisha Bagaimana pernikahan Nabi dengan Aisha. Dari sahih Hadiths maupun biografi Nabi disebutkan bahwa Aisha masih anak-anak berumur 6th pada waktu Nabi menikahinya dan masuk kedalam rumah tangga Nabi pada waktu Aisha berumur 9th. Aisha adalah anak Abu bakr (sahabat dan kalifa 1). Beberapa hadiths berikut saya kutip untuk memberikan gambaran mengenai hal ini: Sahih Muslim Book 008, Number 3310: Aisha melaporkan: Rasul Allah menikahi saya ketika saya berumur 6 tahun dan dibawa hidup berumahatngga pada waktu saya berumur 9 tahun. versi bahasa Inggrisnya: 'A'isha (Allah be pleased with her) reported: Allah's Apostle (may peace be upon him) married me when I was six years old, and I was admitted to his house when I was nine years old. Sahih Bukhari Volume 7, Book 62, Number 64 Dinarasikan oleh Aisha:bahwa Nabi menikahinya ketika dia berumur 6tahun dan berumahtangga ketika dia berumur 9tahun, dan kemudian dia hidup bersamanya selama 9tahun (sampai meninggalnya Nabi). versi bahasa Inggrisnya: Narrated 'Aisha: that the Prophet married her when she was six years old and he consummated his marriage when she was nine years old, and then she remained with him for nine years (i.e., till his death). Sahih Bukhari Volume 7, Book 62, Number 65 Dinarasikan oleh Aisha: bahwa Nabi menikahinya ketika dia berumur 6tahun dan berumahtangga ketika berumur 9tahun. Hishan berkata: Saya diberitahu bahwa Aisha hidup bersama Nabi selama 9 tahun (sampai meninggalnya Nabi). “apa yang kamu tahu tentang Quran (dengan hati)”. versi bahasa Inggrisnya: Narrated 'Aisha: that the Prophet married her when she was six years old and he consummated his marriage when she was nine years old. Hisham said: I have been informed that 'Aisha remained with the Prophet for nine years (i.e. till his death)." what you know of the Quran (by heart)' Sahih Bukhari Volume 7, Book 62, Number 88 Dinarasikan oleh Ursa: Nabi menulis (kontrak perkawinan) dengan Aisha ketika dia berumur 6tahun dan berumahtangga dengannya pada waktu dia berumur 9 tahun dan dia hidup bersamanya selama 9tahun (sampai meninggalnya Nabi) versi bahasa Inggrisnya: Narrated 'Ursa: The Prophet wrote the (marriage contract) with 'Aisha while she was six years old and consummated his marriage with her while she was nine years old and she remained with him for nine years (i.e. till his death). Beberapa Ulama mengatakan bahwa pernikahan ini semata-mata untuk kepentingan Islam. Yang jadi pertanyaan adalah mengenai usia Aisha yang masih anak-anak. Dalam Hadiths disebutkan bahwa Nabi meminta Abu Bakr untuk memberikan Aisha kepada Nabi untuk dinikahi. Abu Bakr bilang “Tapi saya suadaramu” Nabi menjawab: “Kamu adalah saudaraku dalam Islam dan Aisha halal untuk saya nikahi” Sahih Bukhari 7.18 Dinarasikan oleh Ursa: Nabi meminta Abu Bakr untuk menikahi Aisha. Abu Bakr berkata “Tetapi saya saudaramu.” Nabi berkata, “Kamu saudara saya dalam agama Allah dan kitabNya, tetapi dia (Aisha) secara hukum syah untuk saya nikahi” versi bahasa Inggrisnya: Narrated 'Ursa: The Prophet asked Abu Bakr for 'Aisha's hand in marriage. Abu Bakr said "But I am your brother." The Prophet said, "You are my brother in Allah's religion and His Book, but she (Aisha) is lawful for me to marry." Abu Bakr dan Nabi sudah seperti saudara sendiri. Abu Bakr juga menjadi salah satu orang paling awal yang memeluk Islam. Dalam hal ini Aisya sudah seperti keponakannya sendiri. Dalam hadiths berikut Nabi mengutarakan kepada Aisya bahwa dia telah diperlihatkan kepada Nabi dalam mimpi Nabi sebelum Nabi menikahinya dan Nabi menyatakan bahwa kalau hal itu dari Allah pasti terjadi. Sahih Bukhari 9.140 Dinarasikan oleh Aisha: Rasul Allah berkata kepadaku,”Kamu diperlihatkan kepadaku dua kali (dalam mimpiku) sebelum saya menikahimu. Saya melihat malaikat menbawamu dalam balutan kain sutera, dan saya berkata kepadanya,”Bukalah (dia),” dan lihat, itu kamu. Saya berkata (kepada diri saya sendiri), “Jika itu dari Allah, maka itu pasti terjadi” Kemudian kamu diperlihatkan kepada saya, malaikat sedang membawamu dalam balutan kain sutera, dan saya berkata ,”Bukalah (dia),” dan lihat, itu kamu. Saya berkata (kepada diri saya sendiri), “Jika itu dari Allah, maka itu pasti terjadi” versi bahasa Inggrisnya: Narrated 'Aisha: Allah's Apostle said to me, "You were shown to me twice (in my dream) before I married you. I saw an angel carrying you in a silken piece of cloth, and I said to him, 'Uncover (her),' and behold, it was you. I said (to myself), 'If this is from Allah, then it must happen.' Then you were shown to me, the angel carrying you in a silken piece of cloth, and I said (to him), 'Uncover (her), and behold, it was you. I said (to myself), 'If this is from Allah, then it must happen.' " Beberapa hadiths berikut memberikan gambaran lebih detail mengenai usia Aisha pada saat Nabi menikahinya. Sahih Bukhari 5.236. Dinarasikan oleh ayah Hisham: Khadija meninggal tiga tahun sebelum Nabi pergi ke Medina. Dia tinggal 3 atau 2 tahun atau sekitar itu dan kemudian dai menikahi Aisha ketika dia berumur 6tahun, dia berumahtangga dengannya pada waktu dia berumur 9 tahun. versi bahasa Inggrisnya: Narrated Hisham's father: Khadija died three years before the Prophet departed to Medina. He stayed there for two years or so and then he married 'Aisha when she was a girl of six years of age, and he consumed that marriage when she was nine years old. Sahih Bukhari 5.234 Dinarasikan oleh Aisha: Nabi mengikat saya ketika saya berumur 6tahun. Kami pergi ke Medina dan tinggal di rumah Bani-al-Harith bin Khazraj. Kemudian saya jatuh sakit dan rambut saya rontok. Pada waktu kemudian, rambut saya tumbuh (lagi) dan ibuku, Um Ruman, datang kepadaku ketika saya sedang bermain ayunan dengan beberapa teman-teman perempuanku. Dia memanggil saya, dan saya menemuinya, tidak tahu apa yang dia ingin lakukan kepada saya. Dia menangkap saya dengan tangannya dan mendirikan saya di depan pintu rumah. Saya kehabisan napas saat itu, dan ketika kembali normal, dia mengambil air dan menyeka muka dan kepalaku. Kemudian dia membawa saya masuk ke rumah. Di dalam rumah itu saya melihat beberapa perempuan Ansari yang berkata,”Semoga bahagia dan Restu Allah dan semoga berhasil.” Kemudian dia menyerahkan saya pada mereka dan mereka menyiapkan saya (untuk pernikahan). Tanpa diduga Rasul Allah datang menemuiku sebelum tengah hari dan ibuku memberikan saya kepadanya, dan pada saat itu saya berumur 9 tahun. versi bahasa Inggrisnya: Narrated Aisha: The Prophet engaged me when I was a girl of six (years). We went to Medina and stayed at the home of Bani-al-Harith bin Khazraj. Then I got ill and my hair fell down. Later on my hair grew (again) and my mother, Um Ruman, came to me while I was playing in a swing with some of my girl friends. She called me, and I went to her, not knowing what she wanted to do to me. She caught me by the hand and made me stand at the door of the house. I was breathless then, and when my breathing became Allright, she took some water and rubbed my face and head with it. Then she took me into the house. There in the house I saw some Ansari women who said, "Best wishes and Allah's Blessing and a good luck." Then she entrusted me to them and they prepared me (for the marriage). Unexpectedly Allah's Apostle came to me in the forenoon and my mother handed me over to him, and at that time I was a girl of nine years of age. Sunan Abu-Dawud Book 41, Number 4915, juga Number 4916 and Number 4917 Dinarasikan oleh Aisya, Ummul Muminin: Rasul Allah menikahiku ketika saya berumur 7 atau 6 tahun. Ketika kami datang ke Median, beberapa perempuan datang, menurut versi Bishr: Umm Ruman (ibu Aisya) datang kepadaku ketika saya sedang bermain ayunan. Mereka mengambil saya, mempersiapkan dan merias saya. Saya kemudian dibawa kepada Rasul Allah, dan dia hidup sebagai suami istri dengan saya ketika saya berumur 9 tahun. Dia menahan saya dipintu dan pecahlah tawa saya. versi bahasa Inggrisnya: Narrated Aisha, Ummul Mu'minin: The Apostle of Allah (peace_be_upon_him) married me when I was seven or six. When we came to Medina, some women came. according to Bishr's version: Umm Ruman came to me when I was swinging. They took me, made me prepared and decorated me. I was then brought to the Apostle of Allah (peace_be_upon_him), and he took up cohabitation with me when I was nine. She halted me at the door, and I burst into laughter. Saya tahu bahwa apapun perbuatan Nabi, selalu ada justifikasinya. Beberapa kalangan bilang bahwa pernikahan semacam ini adalah hal biasa. Masyarakat zaman itu tidak memprotes hal ini. Orang sekarang bisa bilang macam-macam, dan menganggap pernikahan semacam itu tidak pada tempatnya, “Bagaimana mungkin Nabi yang sudah berusia diatas 51th mau menikah dengan anak-anak 6th (9th)? Bagaimana mungkin Nabi yang sudah berusia, menikah dengan Aisha yang waktu itu masih mainan ayunan? Dan juga seperti Zainab, Aisha telah diperlihatkan kepada Nabi dalam mimpi sebelum Nabi menikahinya dan waktu itu Nabi berkata bahwa kalau itu ketetapan Allah pasti terjadi. Terserah bagaimana kita memahaminya. Yang saya tahu bagi orang muslim hal ini tidak jadi masalah. Seperti yang saya sampaikan, apapun yang dilakukan Nabi adalah baik. Nabi adalah panutan umat. Kita tidak boleh menilai Nabi berdasarkan kriteria kita sendiri, berdasarkan hati kita. Tapi bukankah itu yang terjadi terhadap semua pemeluk agama dan aliran kepercayaan? Di zaman modern sekarangpun hal ini masih terjadi. Di Bandung kita pernah dengar orang yang mengaku utusan Tuhan dan para pengikutnya mempercayai apapun yang dia sampaikan maupun yang dia minta. Bahkan untuk memberikan anaknya sendiri untuk dinikahi walaupun misalnya tahu bahwa itu tidak normal. Atau di Jepang misalnya ada orang pemimpin aliran kepercayaan yang meminta pengikutnya untuk bunuh diri dan mereka dengan senang hati melakukannya. Kita bertanya-tanya: Bagamana mungkin bisa terjadi? Kita sebagai orang Muslim yang tidak percaya mereka, dengan mudah bilang bahwa mereka keliru, pikiran dan hati mereka buta. Apa dasarnya kita bilang begitu? Iman kita pada Islam atau akal dan hati kita yang mengatakan itu? Atau kedua-duanya? Para pengikut aliran semacam itu (yang sebagai muslim kita tidak percaya) juga mempunyai semua pembenaran akan keyakinannya itu. Salah menurut pandangan kita benar menurut mereka. Itulah Iman. Pernikahan Nabi dengan Juwairiyah Setelah Zainab bint Jash, Nabi menikah dengan Juwairiyah. Dia adalah anak al-Harith, pemimpin Bani Al-Mustaliq (arab yahudi). Dia merupakan tawanan muslim setelah bani al-Mustaliq jatuh ketangan pasukan muslim pada th-6 AH. Pada waktu pembagian booty (rampasan perang), Juwairiyah diberikan ke seorang serdadu muslim yang bernama Thabit bin Qais bin Shammas. Thabit meminta tebusan untuk pembebasan Juwairiyah tapi harga yang diminta dianggap terlalu tinggi bagi Juwairiyah. Juwairiyah akhirnya menemui Nabi untuk meminta bantuan supaya harga tebusannya diturunkan. Yang terjadi kemudian adalah seperti yang diceritakan Aisya (istri Nabi) “segera setelah saya melihat wanita cantik ini dibawa menemui Nabi, saya kuatir karena saya tahu bahwa Nabi akan melihat dia seperti saya melihat dia”. Begitu Juwairiyah bertemu Nabi, dia minta bantuan Nabi mengenai harga tebusan untuk pembebasannya, Nabi bilang “Apakah kamu mau yang lebih baik dari itu ? Saya akan membayar tebusanmu dan menikahimu”. Mendengar ini Juwairiyah setuju. Dari beberapa sumber juga disebutkan bahwa Nabi membebaskan 100 tawanan lain sebagai kompensasi atas pernikahan Nabi dengan Juwairiya. Bani al-Mustaliq adalah arab Yahudi yang makmur. Mereka tinggal dipinggiran luar kota Medina. Mereka dianggap musuh Islam. Nabi menyerang mereka setelah mendengar dan memastikan kabar bahwa Al-Harith (ayah Juwairiyah) telah memobilisasi orang-orangnya, bersama beberapa orang arab, untuk menyerang Medina. Nabi menyerang bani al-Mustaliq secara mendadak pada waktu mereka tidak waspada dan unta-unta mereka sedang diberi minum. Berikut cuplikan dari Hadiths Bukhari mengenai serangan muslim ke bani al-Mustaliq: Bukhari Volume 3, Book 46, Number 717: Dinarasikan oleh Ibn Aun: Saya menulis surat kepada Nafi dan Nafi menulis menjawab surat saya tsb bahwa Nabi secara mendadak menyerang Bani Mustaliq tanpa pemberitahuan dahulu ketika mereka tidak waspada dan unta-unta mereka sedang diberi minum. Para petarung mereka dibunuh dan perempuan dan anak-anak mereka ditawan; Nabi memperoleh Juwairiya pada hari itu. Nafi berkata bahwa Ibn Umar telah mengatakan kepadanya cerita itu dan bahwa Ibn Umar ada dalam pasukan itu.” versi bahasa Inggrisnya: "Narrated Ibn Aun: I wrote a letter to Nafi and Nafi wrote in reply to my letter that the Prophet had suddenly attacked Bani Mustaliq without warning while they were heedless and their cattle were being watered at the places of water. Their fighting men were killed and their women and children were taken as captives; the Prophet got Juwairiya on that day. Nafi said that Ibn 'Umar had told him the above narration and that Ibn 'Umar was in that army.” (Cerita yang sama dinyatakan dalam Bukhari Book 019, Number 4292.) Saya sulit untuk bisa memahami pernikahan Nabi dengan Juwairiya ini. Setelah bani al-Mustaliq dikalahkan, semua tawanan dan kekayaan mereka diambil muslim dan dibagikan ke Nabi dan pasukan muslim. Tawanan ini umumnya dijadikan budak seperti kebiasaan waktu itu. Allah dalam Quran membenarkan kebiasaan ini dengan membagikan booty kepada Nabi dan pasukannya (lebih jauh saya tulis dibawah). Dalam pemahaman saya, Nabi dan muslim pada waktu itu boleh menyerang siapapun yang dianggap musuh, yang menyebarkan fitnah dan merintangi perkembangan Islam, dan merampas harta kekakayaannya dan menjadikan tawanan sebagai budak (dan budak perempuan sebagai pemuas nafsu pasukan muslim) Seperti saya sampaikan semua tindakan Nabi selalu ada justifikasinya dan tidak ada yang salah. Kita tidak bisa menilainya apalagi dengan ukuran sekarang. Semua itu adalah untuk perkembangan Islam. Nabi se-olah-olah “terpaksa” melakukan itu. Pilihannya “diserang dan kalah” atau “menyerang dan menang”. Tentu saya bisa paham kalau kita bicara dalam konteks pemimpin perang atau raja-raja dan bukan dalam konteks Nabi.