Bagian 1 Banyak sekali pertanyaan dalam pikiran saya. Sudah lama saya berhenti sholat karena saya merasa seperti robot. Saya berhenti pergi sholat jumat karena terlalu sering mendengar khotbah “permusuhan” terutama dengan Yahudi dan AS/Barat. Seolah-olah khotbah itu untuk “menanamkan” kebencian dalam hati saya terhadap yahudi dan AS. Saya tidak mengerti kenapa teroris yang mengatas-namakan Islam samasekali tidak merasa bersalah telah membunuh dan menyengsarakan banyak orang. Ironisnya, mereka merasa bahwa semua itu mereka lakukan untuk Allah, dan mereka lakukan dengan menyebut “Allahuakbar”. Saya tidak bisa bicara apa-apa atau berkomentar karena saya sendiri tidak tahu apa-apa tentang Islam. Saya tidak pernah membaca Quran, Sahih Hadiths ataupun Sirat (sejarah) Nabi. Pada intinya saya tidak pernah benar-benar melaksanakan rukun islam, kecuali mengaku bahwa saya orang Islam. Saya hanya yakin bahwa semua agama adalah baik, selalu mengajarkan kebaikan. Dalam pikiran saya, kalau merasa seperti robot pada waktu sholat, itu karena saya belum tahu apa-apa tentang Islam. Saya selalu beranggapan bahwa teroris itu salah dalam pemahaman mereka tentang Islam. Saya merasa bahwa tidak mungkin agama mengajarkan hal seperti itu. Juga para Imam yang memberi khotbah Jumat, yang menyebarkan kebencian. Mayoritas orang muslim adalah baik. Aa Gym, dia orang baik (menurut saya walaupun kemudian agak terganggu setelah mendengar keputusannya untuk kawin lagi dengan menggunakan alasan-alasan agama). Pada waktu mendengarkan ceramahnya, hati saya merasa jadi lebih baik. Dia memancarkan kebaikan. Pesan-pesannya sangat menyentuh, bermoral. Dan dia bilang bahwa itu semua dia dapat dari pemahaman dia pada ajaran Nabi, Quran dan Hadiths. Sangat bertentangan dengan pemahaman para teroris. Saya bilang Aa Gym adalah cerminan Islam yang benar dan teroris Islam itu salah. Pandangan saya ini bukan karena saya mengerti Islam, tapi semata-mata karena hati saya cenderung mengatakan itu. Apa yang saya anggap benar itu semata-mata bersumber dari suara hati saya. Saya beranggapan bahwa siapapun yang belajar agama (apapun) seharusnya akan menjadi manusia yang lebih baik terhadap sesama, lebih toleran terhadap orang lain, intinya lebih bermoral. Kalau sebaliknya yang terjadi, saya merasa pasti ada yang salah. Fanatisme selalu ada dalam setiap agama. Sebagai orang yang mengaku Islam, tentu saja saya merasa bahwa jalan yang benar adalah Islam. Buat pemeluk yang lain tentu agama mereka yang benar. Keyakinan ini tidak seharusnya menjadi sumber permusuhan. Seperti yang saya tahu Islam mengajarkan “tidak ada pemaksaan dalam agama”. Prinsipnya saling menghormati. Saya merasa sangat terganggu dengan tayangan TV bertema Islam yang sering menggambarakn ancaman Allah yang sengat kejam. Saya mengerti bahwa tayangan itu dimaksudkan untuk menambah keimanan Islam kita. Yang saya tidak mengerti kenapa penggambarannya selalu dengan hukuman Allah yang begitu kejam. Semua dengan khotbah ayat-ayat Quran sebagai penutup acara. Waktu Aa Gym kawin lagi, saya sangat terpukul. Saya tidak setuju tapi tidak bisa berkomentar banyak. Saya merasa ada yang salah. Penilaian saya semata-mata hanya karena suara hati saya mengatakan demikian. Poligami selalu menjadi perdebatan. Ada yang setuju ada yang tidak. Semua argumennya didasarkan pada Quran, hadiths. Apa nabi menganjurkan poligami ? Saya benar-benar tidak tahu apa-apa tentang Islam. Ulama bicara macam-macam bahkan bisa berseberangan. Semua merasa apa yang mereka sampaikan bersumber dari Quran, hadiths dan Sirat Nabi. Saya merasa yang sesuai dengan suara hati itulah yang betul dan yang tidak itu salah. Pendapat saya ini aneh karena tidak saya dasarkan pada pengetahuan saya sendiri akan Islam. Kalau saya mendengar ajaran Islam dari Ulama tertentu yang tidak sesuai dengan suara hati, saya menolak. Selalu saya akan mencari pembenaran sendiri bahwa tidak mungkin seperti itu. Begitu banyak pertanyaan dalam pikiran saya yang sulit untuk saya ungkapkan. Ini semua mendorong saya untuk ingin tahu lebih banyak tentang Islam, dengan membaca sendiri Quran, Tafsir, Hadiths, dan Sirat Nabi. Saya ingin tahu lebih banyak supaya saya bisa menjalankan kehidupan agama saya, keluarga saya, istri dan anak-anak saya dengan sebaik-baiknya. Saya tidak bisa menjalankan sesuatu yang saya tidak pahami betul. Saya tidak bisa berpura-pura. Saya tahu orang tua saya sangat menginginkan saya untuk menjalankan islam saya dengan sebaik-baiknya, sholat, puasa, zakat, dan naik haji. Semuanya untuk kebaikan hidup dunia dan akhirat. Saya ingin tahu sendiri bagaimana sejarah Nabi dari sumber-sumber Islam, saya ingin tahu Quran, saya ingin baca sendiri Hadiths yang dianggap sahih. Dengan demikian saya tidak terombang-ambing oleh orang lain. Bukankah Islam itu rahmat untuk semua manusia ? Buku-buku tentang Islam banyak sekali. Buku tentang sejarah nabi, tafsir Quran banyak sekali. Saya harus mulai dari mana? Begitu mulai saya tahu bahwa ternyata tidak mudah bahkan untuk mencari sumber-sumber yang bisa dipercaya. Kalau kita membaca tulisan Islam yang bicara baik-baik, kita akan langsung setuju dan tidak pernah mau tahu sumbernya dari mana. Sekalipun mungkin ceritanya absurd. Sebaliknya kalau ada tulisan yang negatif kita akan bilang bahwa itu rekayasa, palsu, sekalipun tulisan itu memberikan sumbernya. Tafsir juga macam-macam. Buku-buku Islam modern sangat beragam. Masing-masing mengandung opini dari penulisnya. Kadang kita setuju kadang tidak. Jadi sangat sulit. Dengan kondisi semacam ini, saya ingin kembalikan ke sumber awalnya. Saya cari buku-buku Islam awal yang banyak menjadi rujukan penulis-penulis modern. Beberapa yang paling utama adalah buku biografi nabi paling awal “Sirat Rasul Allah” oleh Muhammad Ibn Ishaq (th.768) yang kemudian dikumpulkan dan “disaring” olah Ibn Hisham (th 833) dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh A. Guillaume. Kisah perang nabi dengan judul “Kitab al-Maghazi” ditulis oleh Al-Waqidi (th 823). Kemudian muridnya Ibn Sa’d (th 845) dengan bukunya “Kitan al-tabaqat al-Kabir (the great book of classes), yang menguraikan kualitas nabi dan misi-misinya. Kemudian Al-Tabari (th 923) dengan bukunya yang dianggap monumental “Tarikh al-Rusul wa’l Muluk” (History of the Apostles and the Kings) dan juga buku tafsirnya. Tafsir Quran Al-Tabari, Az-Zamakhshari (d.1144), Ibn Kathir (th1373), Al-Qurtubi, Jalalayn, Muhammad Abduh (d.1905). Juga buku-buku Kamus Islam, atau tulisan-tulisan Islam lainnya. Sahih hadiths Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Malik Muwatta, Hadiths Qudsi. Saya juga mulai mengenal biografi nabi oleh penulis modern seperti Muhammad Haekal, Saifur Rahman al-Mubarakpuri (bukunya berjudul “The Sealed Nectar” yang memperoleh pengahargaan pertama olah dunia muslim dalam kompetisi mengenai tulisan sejarah nabi di Mekkah th 1979). Saya juga mulai membaca beberapa Quran terjemahan Indonesia: Depag, HB Yassin) dan Inggris (Yusuf Ali, Shakir, Pickthall, Palmer, Muhsin Khan, Syed Abu-Ala' Maududi). Dan banyak lagi. Saya mulai mengenal sumber-sumber tersebut, ada yang sudah saya baca secara keseluruhan, ada juga yang saya baca perbagian sesuai dengan apa yang ingin saya ketahui. Banyak sekali buku-buku tersebut yang sekarang sudah on-line terutama dari web-site muslim. Kalau beli harganya lumayan mahal. (Suatu hari saya ke Gn. Agung mencari buku sejarah nabi. Saya ketemu karangan Haekal dengan pengantar Hamka. Saya tertarik. Saya beli, kalau tidak salah harganya lebih dari 350 rb. Pada waktu saya cari di internet, saya dapat bukunya, sama persis bahkan saya juga bisa dapat yang terjemahan inggris. “Gratis”, ongkos download aja). Saya juga beli hadiths Bukhari dan muslim yang tidak komplit, habis lebih dari 500rb. Ternyata saya cari di internet saya malah dapat yang komplit, gratis lagi. Begitu juga quran, tafsir, dsb. Saya mulai banyak membaca diskusi-diskusi Islam. Seolah-olah hari-hari saya, sampai saat ini, hampir semuanya tercurah untuk mengenal lebih banyak tentang islam. Kapan saja ada waktu, pasti saya berkutat disini. Bisa dari bangun tidur, sampai malam mau tidur. Non-stop. Banyak sekali yang saya ingin tahu. Kaget dan shock. Itu yang saya dapat. Gambaran yang saya dapat dari sumber-sumber itu mengenai sejarah nabi, para sahabat (kalifa dan sahaba), istri-istri nabi, sejarah islam “seolah-olah” bertentangan dengan yang saya yakini selama ini. Setiap saya baca sesuatu yang tidak pas dengan pemahaman saya, saya selalu berusaha menolak. Ada yang berkomentar mungkin sumber yang saya baca palsu, hasil propaganda yahudi, barat, orientalis. Mungkin pemahaman saya salah, diluar konteks. Mungkin saya seharusnya membaca Quran dalam bahasa Arab, dsb. Justru karena saya menolak hal-hal negatif yang saya baca tentang Islam, saya berusaha sangat berhati-hati untuk mencoba memahaminya. Saya pastikan bahwa sumber yang saya baca asli dari sumber muslim dan sama dengan yang dibaca oleh para ulama dan kalangan muslim. Saya berusaha mengerti benar konteksnya. (Sebaliknya untuk pernyataan yang sifatnya positif, tentu saya tidak perlu meragukan keasliannya meskipun pernyataan tsb tidak pernah memberikan sumbernya dari mana, bahkan konteksnya sekalipun). Tuntunan saya suara hati dan akal. Saya sering merenung tentang moral. Di masyarakat Inuit (orang yang tinggal didaerah dekat kutub utara), orang akan menawarkan istrinya untuk ditiduri tamunya. Apakah ini bermoral ? Kalau tidak kenapa itu dilakukan oleh masyarakat itu? Tentu menurut masyarakat tsb tidak ada yang salah dengan hal itu. Dengan begitu menurut ukuran mereka tindakan itu bermoral? Bagaimana menilainya? Kalau kita yang disuruh menilai tindakan itu, tentu kita akan bilang itu tidak bermoral. Apa dasarnya? Agama? Jadi apakah moralitas datangnya dari ajaran agama? Apakah dengan begitu orang yang tidak beragama tidak bermoral atau akan mudah kehilangan moralnya? Apakah moralitas hasil dari agama? Kalau misalnya saya tanyakan ada orang yang secara seksual bernafsu terhadap ibu atau saudara kandungnya (incest), apakah itu bermoral? Kita bisa bilang dengan pasti bahwa orang itu gila dan tidak bermoral. Kenapa? Pendapat kita ini hasil dari mana? Apakah dari agama? Saya merasa bahwa sebagian besar moralitas kita berasal dari instinct kita, suara hati kita (sebagian besar percaya bahwa suara hati adalah suara Ilahi). Sebagai contoh incest tadi dianggap tidak bermoral oleh setiap masyarakat, baik itu beragama maupun tidak. Tentu saja ada orang cacat mental yang mau melakukan itu. Jadi bagaimana ukuran moral? Apakah moral berubah-ubah sesuai perkembangan jaman, dan budaya masyarakatnya? Bagaimana dengan poligami, poliandri? Apakah mempertontonkan anggota badan kita bermoral? Di hutan Amazon, beberapa suku telanjang bulat. Orang bali jaman dulu memperlihatkan payudaranya. Apakah ini bermoral? Di beberapa negara muslim, perempuan muslim diharuskan memakai burka. Apakah ini bermoral? Kalau jawabannya ya, tentu orang yang tidak memakai burka dianggap tidak bermoral? Bagaimana dengan yang mengenakan Jilbab. Atau orang yang mengenakan bikini di pantai? Apakah mereka tidak bermoral? Banyak yang berpendapat bahwa itu tergantung dari siapa kita dan bagaimana standard pribadi kita mengenai moral. Saya pribadi yakin bahwa yang namanya moral sifatnya abadi, tidak dibatasi waktu dan tempat. Apakah moral berubah-ubah sesuai perkembangan jaman? Apakah tidak bermoral disuatu tempat bisa bermoral ditempat lain? Saya tidak tahu definisinya. Kadang kita mencampur adukan moral dengan etika. Saya tidak tahu mana yang sifatnya lebih tinggi. Yang saya ingin sampaikan adalah bahwa ada suatu nilai yang sifatnya abadi. Suara hati kita bilang mencuri itu salah, tidak bermoral. Memperkosa orang itu tidak bermoral. Membunuh itu salah. Intinya: Jangan melakukan sesuatu yang kamu tidak mau orang lain melakukannya terhadapmu. Saya bilang ini “golden rule”. Jangan menyakiti orang kalau kamu tidak mau disakiti. Jangan melanggar hak orang kalau hak kamu tidak mau dilanggar. Kamu tidak mau diperkosa, maka jangan memperkosa orang. Kamu tidak mau diperbudak, maka jangan memperbudak orang (harus dibedakan dengan pembantu: pembantu adalah pekerjaan yang sifatnya timbal balik, sesuai persetujuan. Sebaliknya budak itu seperti barang, komoditi, dimiliki dan bisa diperjual belikan). Perbudakan pada jaman dulu dinggap praktek yang normal. Saya bilang bahwa itu tidak bermoral, baik kita mengukurnya pada jaman dulu atau sekarang. Kalau orang dulu menganggap bahwa praktek itu normal, itu bukan berarti bahwa itu bermoral. Saya yakin pasti ada orang orang jaman dulu yang masih punya hati menganggap bahwa praktek ini tidak bermoral meskipun itu umum dilakukan. Kalau kita lihat film perang jaman dulu, serdadu yang menang ada yang membunuh anak-anak dan perempuan biasa bahkan memperkosa mereka, mengambil harta benda mereka, kita bilang bahwa serdadu itu tidak bermoral. Buat saya perbuatan itu tidak ada justifikasinya meskipun itu jaman perang. Tawanan perang yang dijadikan budak seks apakah itu bermoral? (Contoh serdadu Jepang yang menjadikan tawanan perempuan sebagai budak seks mereka, kapanpun kita menilainya, kita bisa bilang itu tidak bermoral). Hitler membunuh banyak orang Yahudi, termasuk perempuan maupun anak-anak. Kita bilang dia tidak bermoral. Buat pengikutnya, dia adalah pahlawan. Manusia selalu punya dua sisi, baik dan jahat. Penipu seringkali berbicara sangat sopan, diluar kelihatan sangat baik, kata-katanya manis tapi perbuatannya samasekali berlawanan. Orang bisa berkhotbah yang baik-baik, manganjurkan kita berbuat baik tapi kalau dia sendiri melakukan hal-hal yang berlawanan dengan anjurannya, integritasnya perlu kita pertanyakan. Semua tindakan kita selalu ada alasannya. Diri kita dinilai dari kata-kata dan perbuatan, tapi perbuatan memberi bobot yang lebih besar. “Actions speak louder than words”. Begitu istilah populernya. Banyak orang yang mengaku nabi sebelum dan setelah nabi Muhammad. Muslim tidak mengakui orang-orang seperti Baha'ullah (Bahais, mengakaui Nabi Muhammad, tetapi mengaku mendapat wahyu sebagai Nabi baru sebagai penerus Nabi Muhammad), Joseph Smith (pendiri mormons, tidak ada hubungannya dengan isalm), Mirza Ghulam Ahmad (Ahmadiyya, mengaku dirinya sebagai reformer/pembaharu tidak tidak dengan wahyu baru). Mereka pada umumnya hidup menderita karena klaim mereka itu. Orang muslim marah karena menganggap Lia Aminudin, juga Ahmadiyah menyebarkan fitnah. Tapi bagaimana kita tahu mereka nabi palsu? Tentu karena kita percaya bahwa tidak akan ada nabi lagi setelah nabi muhammad. Verifikasi kita didasarkan iman islam kita? Ada yang mengatakan “Dalam iman jangan menggunakan akal karena kalau kamu melakukannya kamu akan jadi ateis”. Apakah dengan demikian Akal dan Iman bertolak belakang? Seperti yang saya pahami iman adalah percaya sesuatu tanpa bukti, tanpa kita mengetahuinya. Konsep surga dan neraka adalah salah satu contohnya. Ini diluar akal manusia. Tapi kita percaya. Ini Iman. Apakah dengan begitu kita percaya saja tanpa lagi perlu berpikir? Saya yakin bahwa banyak hal di dunia yang tidak terjangkau akal manusia. Tapi apakah ini kemudian juga berarti bahwa hal-hal yang bisa kita cerna dengan akal terus kita abaikan hanya karena Iman? Bukankah bisa kita bilang bahwa “mengabaikan” akal dan hati itu yang terjadi pada banyak penganut aliran kepercayaan (dan penganut agama?). Sederhananya, kita sebagai orang muslim tidak bisa mengerti bagaimana orang-orang (pandai sekalipun) bisa masuk dalam aliran kepercayaan tertentu, atau misalnya jadi pengikut Lia Aminudin. Atau pendeta yang mengatas-namakan Tuhan-nya untuk membenarkan semua tindakkannya. Dan ironisnya, pengikutnya percaya. Menurut saya, begitu para pengikut itu percaya hal-hal absurd yang disampaikan pemimpinnya berdasarkan iman tadi, maka apapun yang disampaikan pemimpinnya dipercayai kebenarannya. Jadi tidak heran kalau misalnya orang yang mengaku utusan Tuhan bilang bahwa dia mendapatkan perintah Tuhan untuk menikahi anak pengikutnya yang masih kecil, pengikutnya akan dengan senang hati menerima keputusan itu. Atau kalau pemimpinnya minta mereka membunuh orang yang dianggap pemimpinnya melawan perintah Tuhannya, pengikutnya akan dengan senang hati melakukanya karena merasa bahwa dengan menuruti perintah itu dia akan mendapat pahala di surga. Bahkan untuk bunuh diri sekalipun. Absurd, tapi tetap percaya. Pikiran dan hatinya mati. Dengan fakta seperti ini, apakah saya bisa bilang bahwa orang dari agama lain akan memandang saya seperti saya memandang mereka? Apakah menurut mereka “Pikiran dan hati saya mati”. Orang yang dilahirkan sebagai Hindu dan dibesarkan dalam lingkungan Hindu lebih banyak akan tetap menjadi Hindu. Demikian juga untuk agama atau aliran kepercayaan lain. Menurut mereka itulah keyakinan yang paling betul. Dan ironisnya tanpa mereka pernah memverifikasinya sendiri. Semuanya “given”, turun temurun. Mereka yakin orang tua mereka tidak akan menyesatkan mereka. Jadi bagaimana orang bisa berubah? Tentu harus dengan pencarian dan pemahaman sendiri. Apapun hasilnya, orang yang mau belajar akan jauh lebih baik dalam menjalankan hidupnya. Ini tidak mudah. Keyakinan yang ditanamkan kepada kita sejak kecil seringkali tanpa kita sadari selalu tertanam dalam benak kita sampai dewasa. Konsekuensinya adalah bahwa kita seringkali ingin membuat fakta apapun yang dijumpai yang tidak rasional sekalipun menjadi sesuai dengan keyakinan kita. Manusia dibekali Allah dengan hati dan pikiran tapi ironisnya begitu hal itu berkaitan dengan keyakinan agama seringkali mereka tidak mau menggunakannya meskipun misalnya jelas-jelas hati dan akalnya mengatakan sebaliknya. Bagi kita Nabi adalah contoh moral yang sempurna. Quran diturunkan Allah lewat Jibril kepada nabi Muhammad. Bagaimana kita tahu itu? Karena Quran yang mengatakan itu. Tapi siapa yang menyampaikan Quran kepada kita? Nabi Muhammad. Bagaimana kita tahu bahwa apa yang disampaikan Nabi itu betul? Ya karena Nabi adalah utusan Allah. Siapa yang bilang itu? Quran. Jawabannya berputar. Intinya, adalah kita percaya, itu saja. Bagaimana dengan pemeluk agama lain atau aliran kepercayaan? Bukankah hal yang sama terjadi? Kalau ada orang mengaku sebagai nabi, yang membenarkan islam, yahudi, kristen (seperti Bahaisme) kita tidak percaya. Banyak orang muslim yang memusuhi mereka, menganggap gila dsb. Kalau Lia Eden mengaku sebagai nabi, pada umumnya orang muslim marah. Mereka dianggap menyebarkan fitnah. Apa itu fitnah? Mungkin kita ingat ajaran islam yang mengatakan bahwa “fitnah adalah lebih kejam dari pembunuhan”. Jadi kalau orang melakukan fitnah, maka membunuh orang itu adalah adil? Mesjid orang Ahmadiyah di Jawa Timur dibakar, pengikutnya diusir, dimusuhi. Saya tidak setuju, tapi sebagai orang muslim bisa mengerti kenapa mereka marah. Coba kita bayangkan. Ada orang yang mengaku nabi yang bilang bahwa dia hanya menyampaikan kebenaran berdasarkan wahyu Allah, yang mengaku-aku seperti Bahaisme itu. Dia mulai punya pengikut beberapa diantaranya orang-orang muslim. Orang muslim tentu akan marah dan menganggap orang ini menyebarkan fitnah. Orang ini dianggap gila, dihina dicaci maki, kalau perlu dibunuh. Tapi orang ini tetap saja pada keyakinannya, tetap saja mengajarkan keyakinannya. Dia bilang bahwa dia hanya menyampaikan kebenaran saja. Kalau percaya silahkan, kalau tidakpun Ok. Tidak ada pemaksaan. Apapun termasuk kekayaan tidak mempan untuk meminta dia menghentikan kegiatannya. Bertahun-tahun berlalu. Pengikutnya bertambah, tapi tidak banyak. Karena dikucilkan masyarakat, mereka akhirnya merasa terusir dari tempatnya. Mereka pergi ketempat lain yang bisa lebih menerima mereka. Hidup miskin karena semua sudah ditinggalkan. Untuk hidup, pemimpin ini mulai membenarkan apapun selama dilakukan untuk kepentingan keyakinannya, termasuk menyerang dan merampas kekayaan orang-orang yang berseberangan dengan mereka dan yang dulu mereka anggap mengusir mereka. Ajarannya sama sekali sudah berubah. Yang tidak sepaham dengan dia adalah musuhnya. Akhirnya mereka menjadi sangat kuat. Orang-orang yang menghina mereka dan yang berseberangan dengan mereka akhirnya bisa ditaklukan. Tidak semua dibunuh asalkan mereka percaya dengan apa yang disampaikan. Orang-orang yang dulu dianggap keterlaluan menentang dibunuh. Dia mengajarkan persaudaraan diantara pengikutnya. Saling membantu. Diluar pengikutnya adalah musuh. Mereka membenarkan kekerasan yang mereka lakukan dengan alasan bahwa merakalah yang lebih dulu menganiaya mereka. Merekalah yang dulu menyerang, menghina mereka padahal mereka ini hanya mengajarkan “kebenaran” yang disampaikan Tuhannya. Cerita diatas khayalan saja. Kalau kita disuruh menilai tentu kita bilang orang ini tidak betul. Kenapa? Bukankah mereka (kita sebut saja “A”) ini hanya ingin mengajarkan keyakinannya tanpa paksaan? Kita jawab: Iya, itu dulu sebelum “A” punya kekuatan. Tapi bukankah orang-orang (kita sebut saja “B”) yang menyakiti, menghina dia ini yang salah? Saya jawab: tentu “B” juga salah. Tapi “B” bilang bahwa justru “A” lah yang menyerang mereka dulu, yang menyebarkan fitnah, yang menghina keyakinan “B” sehingga mereka merasa perlu membalas dan menghentikan apa yang dilakukan “A”. “B” bilang kalau “A” berhenti menyerang, tentu perkaranya selesai. Kalau “A” dulu bilang hanya mau memberi peringatan, mengajarkan keyakinan yang dia anggap benar, kenapa sekarang “A” menyerang kita, merampas harta kita, memaksa kita untuk mengakui keyakinan “A”? Bukankah itu balas dendam? Bukankah itu pemaksaan? Pada waktu saya membaca quran, tafsir, hadiths, sirat, saya jumpai banyak sekali hal yang bertentangan dengan keyakinan saya. Saya tidak percaya, tapi itu yang saya ketemukan dari sumber-sumber islam. Tulisan berikut saya sarikan dari apa yang saya baca. Mungkin pemahaman saya salah. Saya ingin diluruskan kalau saya salah. Berikut kutipan artikel (sebagian) dari Jakarta Post (online; Opinion and Editorial) tgl. 20 April 2007 yang menceritakan pengalaman seorang kakak yang adiknya menjadi sangat intoleran setelah memperdalam islam (saya terjemahkan secara bebas). Jangan Salahkan Mereka yang tidak percaya Muslim Mohammad Yazid, Jakarta Untuk lebih memperdalam pemahaman Islam, orangtua saya mengijinkan adik saya untuk ikut dalam acara-acara diskusi dan pembacaan Quran. Setelah beberapa bulan, dia mulai memprlihatkan perubahan positif seperti menjalankan sholat secara teratur, dan zikir, yang sebelumnya jarang dia lakukan. Meskipun demikian, kurang lebih 1 th kemudian, dia mulai menunjukkan sikap yang berbeda. Dia mulai memperdebatkan interpretasi ayat-ayat Quran dan hadiths, juga dengan orangtua saya. Dia secara aktif mendorong teman-temannya untuk bergabung dalam groupnya, seringkali dengan mengabaikan bisnis kecil-kecilan yang telah diusahakannya beberapa tahun setelah SMA. Sebagai akibat dari pemahaman adik saya yang “tidak biasa” atas ajaran-ajaran Islam, seperti penolakannya dalam melakukan ritual sholat wajib dan puasa ramadhan dengan mengatakan bahwa “waktu yang tepat belum tiba”, ayah saya, seorang pengikut Muhamadiyah , merasa sulit untuk menerima sikap adik saya tsb, meskipun dia berusaha sangat keras untuk mengerti. Yang sangat disayangkan, diluar kenyataan itu adalah bahwa adik saya menjadi tidak toleran terhadap pandangan orang lain setelah hampir dua tahun mengikuti grupnya itu, tanpa pernah mengatakan siapa gurunya atau menceritakan apa tujuan grupnya. Tanpa berat hati, dia mencap mereka yang tidak sepaham dengan pendapatnya sebagai kafir. Pandanganya yang tertutup dan keyakinannya yang eksklusif mengakibatkan ketegangan di rumah. Akhirnya dia memutuskan untuk meninggalkan rumah tanpa mengatakan apa-apa, dan menutup bisnisnya. Pada tahap ini, dia bahkan menolak untuk menemui anggota keluarganya. “Mengapa studi agamanya membawa ke perpecahan keluarga dan pengetahuan agamanya yang meningkat menghasilkan kebencian?” adalah sesuatu yang saya pertanyakan… versi Bahasa Inggrisnya: Don't blame those who don't trust Muslims Opinion and Editorial - April 20, 2007 Mohammad Yazid, Jakarta In a bid to enhance his understanding of Islam, my parents allowed my younger brother to participate in Koranic recitation and discussion sessions. After a few months, he began to make positive changes such as performing regular evening prayers, and zikir (chanting verses in praise of Allah), which he had rarely done before. However, about a year later, he started to demonstrate a different attitude. He began to argue about the interpretation of the Koranic verses and hadiths (words and sayings of the Prophet Muhammad), also with my parents. He actively encouraged his friends to join his group's recitations, frequently neglecting the small business he had been developing for some years after high school. As a result of my brother's peculiar take on Islamic teachings, such as his refusal to perform obligatory prayers and Ramadhan fasting rituals by asserting that "the right time has not yet come", my father, a Muhammadiyah follower, found it difficult to accept my brother's attitude, although he tried hard to understand. Most regrettably, though, my brother grew intolerant of other people's views after almost two years attending the recitation group, without ever telling us who his teacher was or describing what the group got up to. Without any hesitation, he branded those not sharing his opinions as infidels. His closed viewpoint and exclusive beliefs also created tension within the family. He finally decided to leave home without saying anything, and closed up his business. By this stage, he was even refusing to see family members. "Why have his religious studies led to a family rift and his increased religious knowledge resulted in hatred?" was what I found myself asking. Nabi adalah panutan umat. Itu yang saya tahu. Seperti kutipan berikut dari ceramah Aa Gym: "Makhluk yang paling mulia ini (Muhammad SAW) juga dinamakan Ahmad, Musthafa, Abdullah, Abul-Qasim, dan juga bergelar Al Amin—yang terpercaya. Setiap nama dan gelar yang dimilikinya mengungkapkan suatu aspek wujud yang penuh berkah. Ia adalah, sebagaimana makna etimologis yang dikandung dalam kata Muhammad dan Ahmad, yang diagungkan dan dipuji; ia adalah musthafa (yang terpilih), abdullah (hamba ALLOH yang sempurna) dan terakhir, sebagai ayah Qasim. Ia bukan hanya Nabi dan utusan (rasul) ALLOH, tetapi juga kekasih ALLOH dan rahmat yang dikirimkan ke muka bumi, sebagaimana disebutkan di dalam Al Quran, "Dan tidaklah kami utus engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi sekalian alam." (S.21:107). Jadi Nabi adalah contoh manusia yang sempurna dan kita sebagai orang muslim diperintahkan untuk menjalankan dan mangamalkan apa yang diajarkan nabi. Allah memerintahkan ini dalam Quran. Salah satunya dalam ayat berikut: (8:24) Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya lah kamu akan dikumpulkan. Dengan seruan itu sewajarnya kita berusaha belajar mengenal Nabi secara lebih dalam, dari buku-buku sajarah Nabi. Bagaimana sebenarnya kehidupan Nabi, sikap Nabi? Apa kandungan Quran, apa yang ada dalam Hadiths. Tulisan saya berikut hanya berkaitan dengan hal-hal yang saya pertanyakan karena saya beranggapan apa yang saya baca ini tidak sesuai dengan “pemahaman saya” selama ini mengenai Quran, Nabi dan Islam secara keseluruhan.